Philosophy of Action

Cosmovision adalah istilah yang seharusnya berarti seperangkat fondasi yang darinya muncul pemahaman sistemik tentang Alam Semesta, komponen-komponennya sebagai kehidupan, dunia tempat kita hidup, alam, fenomena manusia, dan hubungan mereka. Oleh karena itu, ini adalah bidang filsafat analitis yang disuplai oleh ilmu pengetahuan, yang tujuannya adalah pengetahuan yang terkumpul dan berkelanjutan secara epistemologis tentang segala sesuatu yang ada dan terkandung dalam diri kita, yang mengelilingi kita, dan yang berhubungan dengan kita dengan cara apa pun. Ini adalah sesuatu yang sama tuanya dengan (...) pemikiran manusia, dan, selain menggunakan unsur-unsur kosmologi ilmiah, ini mencakup segala sesuatu dalam filsafat dan sains yang mengacu pada alam semesta dan kehidupan. Cosmovision bukanlah sekumpulan ide, hipotesis, dan asumsi, melainkan sebuah sistem yang didasarkan pada observasi, analisis, bukti, dan demonstrasi. Tidak ada cosmovision yang bermaksud untuk mendefinisikan, menetapkan, atau mengusulkan, tetapi hanya memahami, menganalisis, dan menafsirkan. Masing-masing dari kita membangun dan membawa cosmovision-nya sepanjang hidup, tanpa menetapkan bentuk, sebagai latar belakang pemikiran dan perilaku kita. Secara linguistik, istilah "cosmovision" akan berasal dari padanan bahasa Jerman untuk konsep "Weltanschauung", seperti yang digunakan oleh beberapa filsuf. Namun, hubungan linguistik ini tidak dapat diterapkan karena bertentangan dengan apa yang kami usulkan sebagai cosmovision. Kata Jerman ini mengacu pada visi pra-logis atau proto-eksperimental tentang realitas, dengan konteks intuitif dan jauh dari pengetahuan kritis yang masih belum ada pada saat perumusannya. Tidak diragukan lagi, cosmovision, dalam pengertian yang kita pahami, menampung dan menggunakan elemen-elemen proto-eksperimental atau pra-logis yang mencakup sejarah, ketidaksadaran kolektif, dan semua pola dasar yang kita bawa. Namun, dalam konsep yang kami terapkan di sini, cosmovision jauh melampaui konten ini, pertama-tama dengan terus-menerus menyerahkannya untuk menghadirkan pemikiran kritis dan akhirnya dengan menjadikan pengalaman analitik (dan bukan pemikiran itu sendiri atau intuisi) sebagai alam semesta yang sebenarnya. António Lopes memaparkan luasnya konten ini: -/- "Cosmovisions bukanlah produk dari pemikiran. Mereka tidak muncul dari keinginan sederhana untuk mengetahui. Pemahaman tentang realitas adalah momen penting dalam konfigurasinya, tetapi, bagaimanapun, itu hanya satu. Itu berasal dari perilaku vital, dari pengalaman hidup, dari struktur totalitas psikis kita. Peningkatan kehidupan menuju kesadaran dalam pengetahuan tentang realitas, dalam penilaian kehidupan dan dalam realitas kehendak adalah pekerjaan yang lambat dan sulit yang telah dilakukan umat manusia dalam pengembangan konsepsi kehidupan. (W. Dilthey, 1992 [1911]: 120)" . Dalam karya ini, kami berusaha menguraikan sebuah visi kosmik berdasarkan realitas yang ditawarkan sains saat ini. Kami tidak mengusulkan, kapan pun, untuk melakukan sains atau berteori tentang filsafat. Namun, kami akan selalu berusaha untuk didukung oleh mereka atau, setidaknya, dilindungi oleh mereka dari distorsi kognitif yang biasanya kita bawa. (shrink)

The aim of this thesis is to show the relevance that Aquinas's theory of natural inclinations can play in the contemporary debate for the inquiry on human flourishing, which consists in the realisation of the proper end that human beings have as human beings. We will engage in dialogue with several authors, belonging to the analytic tradition (Elizabeth Anscombe, John Finnis, Ralph McInerny, Anthony Lisska) or, nevertheless, culturally close to it (Alasdair MacIntyre), who have reconsidered the philosophy of Thomas Aquinas (...) in the contemporary debate in order to inquire what enables human flourishing. We will argue that the proper consideration of natural inclinations leads, on the one hand, to overcome the problems posed by Hume's law by identifying human nature as a normative criterion common to all human beings, and, on the other hand, to recognise the role of the first-person perspective in identifying what enables the human flourishing of each agent. Natural inclinations do not express agents' psychological preferences, but consist in the fact that human beings naturally tend towards the realisation of their nature as a good to be realised. In order to flourish, human beings are required to act in accordance with their natural inclinations, since natural inclinations are tendencies that human beings have towards a set of goods that are grounded in human nature. Revisiting a recent proposal put forward by Stephen Mumford and Rani Lill Anjum in the field of analytic metaphysics, we will argue that agents develop a virtuous conduct if and only if they act in accordance with their natural inclinations; in doing so, they flourish as human beings, that is, they actualise the powers they have by virtue of their nature. However, human beings are not strictly necessitated to act in accordance with their natural inclinations. Indeed, in order to flourish, agents should also recognise, by virtue of their rational capacities, that acting in accordance with their natural inclinations is a reason for acting for them and they should act in accordance with these reasons. Furthermore, we will argue that there is no single way to flourish for all human beings, because, although flourishing requires that human beings act in accordance with their nature, nevertheless, the way in which agents can flourish varies according to their individual characteristics and according to the circumstances and contexts in which they act, that is, according to the practices in which they participate in their lived experience. In the last part of this thesis, we will test the theoretical proposal developed in the previous parts through a critical analysis of Alasdair MacIntyre's thought. (shrink)

This paper explores the hypothesis that proper names serve as anchors identifying the individuals in the possible or real world. This hypothesis is tested on Old Icelandic narratives. A prominent feature of Old Icelandic sagas is that the narrative matter is not quite new. A Saga is reliable iff it refers to the events relevant for its audience and accepted as true by the whole community. I argue that proper names must be regarded as references to the background knowledge of (...) the medieval audience. I follow two contemporary Sagas based on the fresh events and show that proper names in a Saga mind were arranged in form of a database, each type of a personal designation having its charachteristic text-building profile. The form of the name and its frequency in the Saga are linked with the rank of the character. The high number of people mentioned in the Sagas is explained by the fact that the Sagas aimed at describing the real world, where the names of the individuals and the events they were involved cross-identified each other. Every character had its rigid identifiers. The total amount of propria is always higher than the number of active figures. I classify the Saga characters into five ranks and discuss their information-structural profiles. (shrink)

The Preprints of the Ninth International Saga Conference (1994, Akureyri, Iceland) are devoted to the so-called Contemporary Sagas, i.e. the group of Saga narratives written down based on recent events. The contributors discuss philological, historical, ideological, religious and philosophical aspects of Contemporary Sagas. -/- For the citation: Sverrir Tómasson, ed. 1994. Níunda Alþjóðlega Fornsagnaþingið/The Ninth International Saga Conference: Samtíðarsögur/The Contemporary Sagas. Forprent (Preprints). Reykjavík: Stofnun Árna Magnússonar.